Minggu, 30 Maret 2014

Sejarah Ekonomi Indonesia

Pemerintahan Orde Lama
Pada tanggal 17 agustus 1945, indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti Indonesia sudah bebas dari Belanda. Tetapi setelah akhirnya pemerintah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia. Sampai tahun 1965, Indonesia gejolak politik di daalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah. Akibatnya, selama pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk. Seperti pertumbuhan ekonomi yang menurun sejak tahun 1958 dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan terus membesar dari tahun ke tahun.

Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan jepang. Dilihat dari aspek politiknya selama periode orde lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis yang menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional.
 
Pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbang nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di Pulau Jawa kerena pada saat itu fasilitas-fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relative lebih baik dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di luar Pulau Jawa. Tujuan utama pada pelaksanaan repelita I, adalah membuat Indonesia menjadi swasembada, terutama dalam kebutuhan Bahan pokok (beras). Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan di sektor Pertanian. Dengan dimulainya program penghijauan tersebut sektor pertanian nasional memasuki era moderenisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan tata cara menanam. Pada bula April 1969 repelita I dimulai dan dampaknya dapat dirasakan hingga repelita-repelita berikutnya selama orde baru, hal ini membuat perekonomian Indonesia cukup mengagumkan terutama dilihat dari tingkat makro. Proses pembanguna sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata yang cukup tinggi, jauh lebih baik dibandingkan selama orde lama, dan juga relative lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok NSB. Pada awal repelita I PDB Indonesia tercatat 2,7Trilliun rupiah pada harga berlaku atau 4,8Trilliun rupiah pada harga konstan, dan pada tahun 1990 menjadi 188,5Trilliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4Tririliun rupiah pada harga konstan.


Pemerintahan Orde Baru
Maret 1966, Indonesia dalam era Orde Baru perhatian pemerintahan lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat  pembangunan ekonomi dan sosial tanah air. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembaangunan 5 tahun secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara barat. Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar. Perubahan ekonomi struktural juga sangat nyata selama masa Orde Baru dimana sektor industri manufaktur meningkat setiap tahun.
Dan kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut: kemampuan politik yang kuat, stabilitas ekonomi dan politik, SDM yang lebih baik, sistem politik ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat, dan dan kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik. Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh: Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
a)      Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)       Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi.
c)      Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)     Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi.




Pemerintahan Transisi
Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan yang hebat, hingga akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang pada bulan juli 1997. Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah terus melemah, hingga pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek dan membatasi anggaran belanja negara. Pada akhir Oktober 1997, lembaga keuangan internasional memberikan paket bantuan keuangaannya pada Indonesia.

Pemerintahan Reformasi
Awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan Gusdur. Dalam hal ekonomi, perekonomian  Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Namun selama pemerintahan Gusdur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Gusdur dengan IMF juga tidak baik. Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia.
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Seperti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang negatif dan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Pemerintahan Gotong Royong
Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gusdur. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya investor swasta, baik dalam negeri mauoun swasta.
Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi perekonomian Indonesia pada pemerintahan Megawati lebih baik. Namun tahun 1999 IHSG cenderung menurun, ini disebabkan kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi investor, kedua disebabkanoleh tingginya suku bunga deposito.


Pemerintahan SBY
        Pada awal pemerintahan SBY  rakyat Indonesia,  pelaku usaha luar dan dalam negeri, maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia(IMF, Bank Dunia, dan ADB) sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar di atas 6%. Namun pertengahan tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yakni naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
        Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut (5,7) Kenaikan BBM di pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar AS per barrel awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Inoensia. Indonesia tidak seperti pada masa oil boom pertama tahun 1973, kedua tahun 80-a. Indonesia tidak saja menjadi net oil importer, tetapi sudah menjadi pengimpor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak. Tahun 2010 impor BBM Indonesia diprediksi akan mencapai sekitar 60% dan tahun 2015 akan menjadi sekitar 70% dari kebutuhan BBM dalam negeri (Kurtubi, 2005). Akibat harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN), akibatnya pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakan yang tidak populis, yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam


0 komentar:

Posting Komentar

 
;